Sejarah Kota Tanjung Pura (Tapur)
Karena saya sendiri orang tapur apa salahnya kalau saya sendiri memposting tentang kota saya, Bagi Teman-teman yang sedang di Tanjung pura tidak ada salahnya kalau teman" semua bertemu dengan saya Di Belkang Masjid AZIZI
Kota Tanjung Pura adalah salah satu kota kecil (dahulu namanya di kenal dengan julukan Negara Langkat) yang berada pada wilayah provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Tanjung Pura terletak 60km di sebelah barat ibukota provinsi Sumatra Utara, Medan. Sebelum berstatus kecamatan, Dahulunya Tanjung Pura merupakan ibu kota Langkat, yang kemudian jabatan itu dipindahkan ke Binjai baru kemudian di pindahkan lagi ke kota Stabat yang letaknya tidak begitu jauh dari Tanjung Pura. Tanjung Pura berbatasan langsung dengan Kota Stabat di sebelah timur dan serta Kota Pangklan berandan di utaranya. Tanjung Pura berada di tengah-tengah jalan raya Lintas Sumatera yang menghubungkan antara Medan dan Banda Aceh. Tidak hanya terletak di daerah strategis juga merupakan daerah pesisir pantai, Namanya di ambi dari kata “Tanjung” yang berarti Semenajung, “Pura” mungkin dahulunya terdapat bangunan berbentuk pura di pinggir semenanjung sehingga di sebut Tanjung Pura.
Tanjung Pura sejak lama dijuluki sebagai kota Islam karena mayoritas penduduknya menganut islam sehingga sangat kental akan budaya islam, Hal ini terbukti dengan banyaknya tarikat-tarikat islam di Tanjung Pura contoh yang sangat terkenal adalah tarikat Naqsabandiyah yang adanya di Besilam. Tidak hanya itu Tanjung Pura juga di kenal dengan Dodol ketan yang sangat pulen yang dapat di jadikan panganan oleh-oleh untuk keluarga.
Tanjung Pura di apit oleh dua sungai yaitu sungai Sei Wampu yang ada di kota Stabat dengan sungai batang serangan, yaitu sungai yang berada di tengah kota Tanjung Pura.
Data kota Luas : 165,78 km²
Jumlah penduduk : 66.113 - Kepadatan : 400 jiwa/km²
Desa/kelurahan : 18 Jumlah Penduduk Tahun 2000
Sejarah
Sejarah Perkembangan budaya Sekitar 1800-an, di Indonesia terdapat sekitar 9 negara (Kerajaan) di Pulau Sumatera. Membentang dari Utara ke Selatan adalah Negeri Langkat (ibukotanya saat itu: Tanjungpura); Negeri Deli (Medan); Negeri Serdang (Perbaungan); Negeri Asahan (Tanjung Balai); Negeri Tambang Batubara; Labuhan Batu (terdiri dari Ledong, Kualuh, Panai, Bilah) dan Negeri Siak Sri Inderapura (sekarang di Riau). Kesultanan ini pernah di bawah perlindungan Kesultanan Aceh, sampai Siak datang untuk memerintah. Untuk memperkuat posisinya, antar-perkawinan antara keluarga kerajaan sering dicapai serta dengan negara-negara indo di Semenanjung Malaya, tepat di seberang Selat Malaka.
Negeri Langkat, Tanjung PuraKesultanan Langkat yang berpusat di Negeri Langkat dulunya, sekarang adalah kota Tanjung Pura merupakan salah satu negara yang tertua di daerah pesisir utara-timur Sumatera. Meskipun telah ada pada masa sebelum masuknya Islam, dengan meninggalkan jejak sejarah yang telah ada sejak abad ketujuh belas. Rumah Royal menjabat sebagai wakil atau penguasa lokal atas nama Sultan Aceh sampai tahun-tahun awal abad kesembilan belas. Kedatangan orang Eropa selama belasan dan dua puluhan tahun, juga melemahnya sumberdaya Aceh di belakang mereka, mendorong Raja-Raja Langkat untuk mencari untuk membangun kemandirian mereka sendiri. Mereka ingin memutuskan hubungan dengan Aceh, dan memohon perlindungan Sultan Siak yang menyerang kerajaan Aceh yang saat itu berkuasa, lalu kekuasaan Siak mendominasi pantai timur Sumatera. Namun, Aceh kembali menguasai selama tahun 1850-an dan berusaha untuk mendapatkan kembali kekuasaan. Pemberian gelar kepada Raja dan sumberdaya yang melimpah membuat aceh sangat kuat untuk beberapa waktu. Akhirnya, kekuasaan Aceh bukan tandingan bagi Eropa. Langkat membuat kontrak terpisah dengan Belanda pada tahun 1869. Mereka mendirikan satu wilayah diluar dari Aceh dan mengangkat seorang Raja dan diakui sebagai Sultan pada tahun 1887. Potensi untuk mengembangkan ekonomi perkebunan besar godaan untuk Belanda dan prospek pendapatan dari sewa, terlalu besar untuk Raja. Musa al-Khalidy diasumsikan gelar Sultan dan sebuah nama untuk menandakan pemerintahan-Nya setara dengan mantan kaisar. Yang sama dengan Deli, Asahan dan Siak, kesultanan makmur di luar dugaan. Permintaan karet meledak selama Perang Besar dan terus meningkatnya permintaan untuk minyak diikuti selama tahun 1920-an dan 30-an. Pada awal tahun 1930-an Sultan Langkat adalah penguasa terkaya di Sumatra, berkat ladang minyak dari Pangkalan Brandan. Keadaan ini membuat Jepangpun berminat untuk menguasainya.
Dikutip dari situs : http://sriandalas.multiply.com
Kota Tanjung Pura juga merupakan kota multi etnis, dihuni oleh suku Jawa, suku Batak Karo, suku Tionghoa dan suku Melayu pada umumnya. Kemajemukan etnis ini menjadikan Tanjung Pura kaya akan kebudayaan yang beragam. Jumlah penduduk kota Tanjung Pura sampai pada April 2000 adalah 66.113 jiwa dengan kepadatan penduduk 400 jiwa/km persegi. Kelurahan sekitar 18. Banyak juga penduduk Tanjung Pura yang bekerja sebagai Nelayan karena letaknya yang di kelilingi oleh perairan.
Agama di Tanjung Pura terutama: Islam - dipeluk mayoritas suku Melayu juga jawa, mesjid terbesar berlokasi di Jalan Mesjid. Kristen - dipeluk sebagian besar suku batak Karo, gereja yang terbesar adanya di Jalan Bambu runcing
Buddha - dipeluk mayoritas suku Tionghoa yang berdomisili di Kota Tanjung Pura
Pendidikan Sampai saat ini, sekolah umum yang terdaftar di Kota Tanjung Pura yaitu : SD Negri 1 s/d 10 Tg. PuraSD Swasta Samanhudi Tg. Pura
MTSN Negri Tanjung Pura Madrasah Alwatsiyah Swasta Tg. Pura
SMP Negri 1, 2, dan 3 Tg. Pura
SMP Swasta Sri Langkat SMP Swasta Samanhudi Tg. Pura SMP Swasta YPII Tg. Pura
MAN 1 dan 2 Tg. Pura
SMA Negri Tanjung Pura
SMA Swasta Sri LangkatSMA Swasta Samanhudi Tg. PuraSMK Negeri 1 Tanjung Pura SMK Swasta YPII Tg. Pura
SMK Swasta Sri Langkat
Universitas Swasta Muhammadiah Alwatsiyah Tg. PuraTransportasiSarana transportasi di dalam kota Tanjung Pura terutama adalah beca mesin roda tiga dan mobil angkutan umum yang disebut mekar bila ingin ke setabat. Untuk transportasi ke luar kota yang jauh seperti Medan dan Banda Aceh dapat menggunakan kendaraan lintas sumatra atau kendaraan antar pulau seperti Bus dan yang lainnya Sampai dengan tahun 2010, prasarana jalan di Kota Tg. Pura terdiri dari : Jalan aspal, Jalan kerikil, Jalan tanah, Jalan perairan. Telekomunikasi Kota Tg. Pura dengan kode pos 20853, saat ini hanya mempunyai satu kantor pos induk
Operator Seluler GSM yang beroperaasi di kota Tg .Pura:
Telkomsel (3G)
Indosat (2G)
XL (3G) Axis (2G)3 (2G)
Operator CDMA yang beroperasi di kota Tg. Pura:
Telkom Flexi
Esia/Bakrie TelecomSmart Telecom FrenRumah sakit Yaitu
RSU Tanjung Pura dan Klinik Husada
Pemakaman umum Taman pemakaman umum di Tg. Pura yaitu : Mesjid Azizi Tanjung PuraLain-lain
Masjid Azizi, Saksi Bisu Langkat Berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi, masjid tua dibangun pada masa Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927), sultan Langkat ke-7. Pada masa inilah Kesultanan Langkat kaya raya dengan kontrak minyak dan perkebunan tembakau dengan pemerintah Hindia Belanda. Tak heran jika Istana Darul Aman Langkat juga dibangun pada masa ini. Didirikan hanya dalam 18 bulan dan menelan biaya 200.000 ringgit, masjid ini memadukan corak arsitektur Tiongkok, Persia, Timur Tengah, dan tentu saja Melayu sendiri. Menara yang menjulang di halamannya serta ukiran pada pintu-pintunya bernuansa arsitektur Tiongkok. Bangunan utamanya bercorak Timur Tengah dan India dengan lebih dari sembilan kubah. Di dalamnya terdapat bangunan segi sembilan dengan tiang menjulang ke atas. Tempat khatib berkhutbah berbentuk mihrab berundak yang cukup tinggi seperti pelaminan raja. Masjid ini mirip bangunan masjid raya Kesultanan Deli di Medan, karena bagaimanapun Langkat dan Deli masih ada hubungan kekerabatan. Demikian juga, bangunan Masjid Zahir di Kedah mirip dengan masjid Azizi ini. Itu barangkali karena Sultan Langkat pernah memiliki hubungan perkawinan dengan Sultan Kedah. Setiap tahunnya diadakan Festival Azizi di masjid ini. Kegiatannya beragam, mulai dari lomba barzanzi, azan, marhaban, dan baca puisi. Ini untuk memperingati tahun wafatnya Tuan Guru Besilam Babussalam Syeikh Abdul Wahab Rokan, yang dikenal sebagai ulama penyebar Tariqat Naqsabandiah. Pengikutnya menyebar hingga ke Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, dan negara-negara Asia Tenggara. Kini, ia tampak keriput, pucat, dan seperti kurang sentuhan tangan. Usianya memang sudah cukup tua, 108 tahun sejak didirikan pada 12 Rabiul Awal 1320 H atau 13 Juni 1902. Ia adalah saksi bisu peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Langkat dari masa silam hingga kini; masa dimana banyak orang hanya melihatnya sebagai monumen masa lalu yang nyaris terlupakan. Istana Darul Aman telah hancur dalam Revolusi Sosial tahun 1946, tetapi Masjid Di Raja (Masjid Azizi) dan Pekuburan Diraja masih terawat dengan baik di Tanjung Pura. Dan untuk kepentingan pelestarian Budaya Melayu Resam Langkat maka tetap diangkat Sultan Langkat, dimana yang sekarang adalah sultan ke 13. Sedangkan Majlis Budaya Melayu Sumatra Timur yang mengurusi dokumentasi budaya Melayu seluruh pantai timur dipusatkan di Stabat (dimana sebuah Rumah Panggung Melayu diwujudkan sebagai tempat pameran dan aktivitas budaya lainnya).
Tokoh-tokoh yang berasal dari Tanjung Pura
Adapun tokoh-tokoh Tanjung Pura yang menjadi Tokoh Nasional di antaranya yang paling terkenal yaitu :
Sastrawan Pujangga Baru
Amir HamzahNama lengkap Amir Hamzah adalah Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pamannya, Machmud, adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibu kota Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil (yang tidak lain adalah saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur. Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum. Amir Hamzah tidak dapat dipisahkan dari kesastraan Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya yang menandai awal kariernya sebagai penyair. Puncak kematangannya sebagai penyair terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur. Selain menulis puisi, Amir Hamzah juga menerjemahkan buku Bagawat Gita. Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai. Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang. Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Lalu, Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepada rakyat, termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946 mereka dihukum pancung. Namun, kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revuolusi sosial. Pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Dalam diri seorang penyair, ada dua aspek yang sering diperbincangkan, yaitu realitasnya sebagai seorang manusia, dan kapasitasnya sebagai seorang penyair. Dua realitas ini berjalan seiring, saling mempengaruhi dan saling menjelaskan. Semua penyair adalah manusia, namun, tidak semua manusia menjadi penyair. Amir Hamzah adalah seorang manusia pandai bersyair. Ia terlahir sebagai putera dari seorang keluarga istana, sebuah posisi politik yang tidak selamanya menguntungkan. Sebab ia tak kuasa untuk memilih, apalagi menolak, apakah menjadi bagian dari rakyat jelata, atau bangsawan istana. Lahir pada 28 Januari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, Amir tumbuh dan berkembang dalam suasana harmonis keluarga sultan. Sebagaimana kerajaan Melayu lainnya, Langkat juga memiliki tradisi sastra yang kuat. Lingkungan istana inilah yang pertama kali mengenalkan dunia sastra pada dirinya. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil adalah seorang pangeran di Langkat yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Pemberian namanya sebagai Amir Hamzah disebabkan ayahnya yang sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah. Dalam lingkungan yang seperti itulah, kecintaan Amir terhadap sejarah, adat-istiadat dan kesusasteraan negerinya tumbuh. Lingkungan Tanjungpura juga sangat mendukung perkembangan sastra Melayu, mengingat penduduknya kebanyakan berasal dari Siak, Kedah, Selangor dan Pattani. Dalam masa pertumbuhannya di Tanjungpura, ia bersekolah di Langkatsche School, sebuah sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda. Di sore hari, ia belajar mengaji di Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi Langkat. Setelah tamat HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di Medan. Tidak sampai selesai, ia pindah ke MULO Jakarta. Saat umurnya masih 14 tahun. Disamping lingkungan istana Langkat dan kota Tanjungpura, perkembangan kepenyairan Amir Hamzah juga banyak dibentuk selama masa belajarnya di Jawa, sejak sekolah menengah di MULO Jakarta, Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo, hingga Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Semasa studi di Jawa inilah, terutama ketika masih di AMS Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya. Pada tahun 1931, ia pernah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo ia bergaul dengan para tokoh pergerakan nasional dan telah memberikan sumbangan tak ternilai pada dunia kesusasteraan. Ia telah memberikan sumbangan tak ternilai dalam proses perkembangan dan pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia, melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa Melayu adalah bahasa yang molek, yang tertera jelas dalam suratnya kepada Armijn Pane pada bulan November 1932. Bahasa Indonesia bagi Amir adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan, dan juga keislaman. Syair-syair Amir adalah refleksi dari relijiusitas, kecintaan pada ibu pertiwi dan kegelisahan sebagai seorang pemuda Melayu. Selama hidupnya Amir telah menghasilkan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Karya-karya tersebut terkumpul dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita. Dari karya-karya tersebutlah, Amir meneguhkan posisinya sebagai penyair hebat. Amir adalah perintis yang membangun kepercayaan diri para penyair nasional untuk menulis karya sastranya dalam bahasa Indonesia, sehingga posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan semakin kokoh. Penghargaan terhadap jasa dan sumbangsih Amir Hamzah terhadap bangsa dan negara Indonesia baru diakui secara resmi pada tahun 1975, ketika Pemerintah Orde Baru menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Dalam tataran simbolik lainnya, penghargaan dan pengakuan terhadap jasa Amir Hamzah ini bisa dilihat dari penggunaan namanya sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Amir Hamzah lahir dan besar di tengah revolusi, dan revolusi juga yang telah menguburnya. Ia meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur pada bulan Maret 1946, awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Ia tewas dipancung tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret 1946, ia meninggal dalam usia yang relaif mati muda, 35 tahun. Kesalahannya saat itu adalah, ia lahir dari keluarga istana. Karena pada saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan untuk memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Sebagai korbannya, banyak para tengku dan bangsawan istana yang dibunuh, termasuk Amir Hamzah sendiri. Saat ini, di kuburan Amir Hamzah terpahat ukiran dua buah sajaknya.
0 Komentar