"Kalau Berpikir Politik Tak Perlu Masuk Ke infrastruktur"


Infrastruktur menjadi trademark pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang genap berusia tiga tahun pada 20 Oktober lalu. Sejak awal memerintah, mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini langsung tancap gas menggeber pembangunan proyek-proyek infrastruktur.

Sejumlah aturan baru dikeluarkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Dana negara yang dianggarkan untuk ini pun terus meningkat. Dari belanja infrastruktur yang pada 2014 masih sebesar Rp 139 triliun, di tahun berikutnya langsung meningkat 51 persen menjadi Rp 209 triliun.

Angka ini terus membesar di tahun-tahun berikutnya. Pada 2017 dan 2018, bujet yang dianggarkan masing-masing mencapai Rp 387 triliun (2,83 persen terhadap Produk Domestik Bruto) dan Rp 409 triliun (2,75 persen).

Diakui Jokowi ini pilihan langkah yang tak mudah. Kritik berhamburan, di samping derasnya pujian. Meski begitu, ia bergeming. Dalam pertemuan dengan para Pemimpin Redaksi Media Massa di Istana Negara pada Senin siang, 30 Oktober lalu, ia menegaskan bahwa langkah tak populer ini harus ditempuhnya demi kepentingan jangka panjang.

Diselingi sejumlah off the record, Jokowi tampak santai dan membuka diskusi tanpa paparan. “Langsung saja tanya jawab. Nanti kelamaan kalau saya beri paparan dulu,” katanya sambil terkekeh. Berikut ini sebagian paparannya yang disarikan dari diskusi siang itu, yang relevan dengan topik seputar infrastruktur.

Bagaimana evaluasi Anda dalam tiga tahun pemerintahan ini?

Pembangunan di lapangan memang tidak semudah yang dibayangkan. Kecepatan kita untuk menyederhanakan dan mengefisienkan dibatasi dan dibelenggu oleh sekitar 42 ribu peraturan, baik Peraturan Pusat, Peraturan Daerah, dan lainnya. Karena itu, langkahnya memang harus dimulai dengan melakukan revisi atas Undang-Undang. Nanti terusannya ke Perpres dan lain-lain.

Pariwisata menjadi salah satu fokus pemerintah. Bagaimana dengan infrastrukturnya?

Kita memang mematok target 20 juta wisatawan yang datang ke Indonesia per tahunnya (saat ini baru sekitar 11 juta, tertinggal dibanding negara-negara Asean lainnya). Tapi, yang terpenting memang infrastrukturnya harus siap. Jika tidak, maka malah akan jadi bumerang.



Sejauh mana perkembangannya?

Seperti saya katakan, di lapangan memang tidak semudah yang dibayangkan. Pembebasan lahan tidak secepat yang kami harapkan. Kalau prasarana infrastruktur ini rampung, sebetulnya soal promosi urusan yang mudah. Karena itu, kami membuatnya bertahap. Saya memperkirakan kita bahkan bisa melampaui negara-negara lain, asalkan infrastrukturnya siap.

Persoalannya, kondisi ekonomi dan keuangan negara sedang cukup berat...

Pas kita berat (kondisinya), justru saatnya kita melakukan banyak perbaikan.

Tapi, bagaimana dengan kondisi pendanaan negara yang terbatas?

Dulu kita selalu mengandalkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tidak pernah dipikirkan untuk melakukan cara lain, seperti sekuritisasi aset (BUMN). Sumber-sumber pendanaan baru ini yang harus dipikirkan.

Soal peran BUMN?

BUMN sekarang seharusnya bukan lagi harus memiliki aset yang banyak. Jadi, setelah membangun (proyek infrastruktur), lalu nanti dilepas (ke pihak lain), dan dengan dana tersebut kembali membangun di tempat lain.

Bagaimana perkembangannya sejauh ini?

Jalan-jalan sudah terbangun. Irigasi, transportasi masal, dan listrik mulai kelihatan (hasilnya). Saya selalu mendorong agar proyek pembangunan dimulai dengan ujicoba di sebuah kota. Lalu nanti dievaluasi, dan akhirnya akan diikuti oleh tempat-tempat lainnya. Intinya, harus berani memulai. Kalau tidak berani mencoba, maka akan terlambat.

Adakah dampak yang mulai dirasakan?

Pengalihan alokasi dana subsidi bahan bakar minyak ke infrastruktur, serta untuk subsidi kesehatan dan pendidikan, akan mulai kelihatannya hasilnya di tahun depan. Karena itu kita tidak perlu grogi, meskipun banyak yang mengkritik. Akan mulai kelihatan hasilnya di 2018.

Jika memikirkan kepentingan politik, sesungguhnya (saya) tidak perlu masuk ke infrastruktur. Main saja di subsidi BBM dan listrik. Pembangunan pun konsentrasi saja di Jawa. Dengan cara ini, bisa cepat dapat dukungan politik.

Selain itu, karena kita ingin menusantarakan Indonesia, maka tidak bisa pembangunan bersifat Jawa sentris. Infrastruktur justru merupakan sarana pemersatu. Infrastruktur diperlukan untuk meningkatkan arus logistik.

Tentang reklamasi Teluk Jakarta bagaimana?

Rencana reklamasi itu kan sesungguhnya sudah ada sejak 1995 di era Presiden Soeharto. Sudah ada Keputusan Presidennya. Karena itu, penting untuk menjaga marwah kepastian hukum di Indonesia.

Selain itu, reklamasi dilakukan di berbagai negara, seperti Korea Selatan, Belanda dan Singapura. Yang terpenting adalah bagaimana pengawasan pelaksanaannya. Negara yang harus mengatur. Nelayan tidak boleh dirugikan, dan lingkungan harus diurus.

Hal ini sudah dibicarakan dengan Gubernur baru DKI Anies Baswedan dalam pertemuan beberapa waktu lalu?

Belum. Saya tidak membicarakan itu (saat bertemu Anies). Tapi begini, ada yang menjadi kewenangan Gubernur DKI Jakarta, tapi ada yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sekali lagi, kuncinya adalah di pengawasan dan kontrol. Jangan sampai lingkungan rusak dan nelayan dirugikan.
Previous
Next Post »
0 Komentar