Sistem Kolonialisme Desa Dituding Pemicu Maraknya Korupsi Dana Desa"

Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Desa akhir-akhir ini mengundang keperihatinan sejumlah pihak. Pasalnya, pasca digulirkanya program dana desa (DD), oleh pemerintah, tidak sedikit Kepala Desa harus mendekam di jeruji besi karena  harus berurusan dengan lembaga hukum.

Bahkan, pengucuran dana yang diberikan langsung ke desa dinilai sangat rawan disalah gunakan. Meski saat ini telah disepakati adanya MoU antara Mendagri, Mendes PDTT  dengan Polri, tidak secara otomatis korupsi itu akan berhenti. Faktanya, kerap ditemukan Kepala Desa  tidak memiliki kemampuan atau kompetensi dalam memimpin sebuah masyarakat. Akan tetapi, siapa saja yang memiliki uang banyak dan dapat membagi-bagikan kepada masyarakat tentunya akan terpilih, meski tidak diketahui latar belakang calon Kepala Desanya.  Hal itu dituding sebagai pemicu banyaknya penyimpangan DD yang terjadi selama ini.

Menyikapi persoalan tersebut, Pakar Kebijakan Pemerintah Daerah (local government), Prof.Dr.Hanif  Nurcholis, M.Si mengungkapkan bahwa sejatinya lembaga desa bukan lembaga pemerintahan. Akan tetapi lembaga rakyat yang dibentuk oleh negara.

“Nah, karena lembaga rakyat, maka dia (kepala desa) kapasitasnya bukan sebagai lembaga pemerintahan. Karena tidak memiliki kompetensi. Jadi ingat, Kepala Desa bukan pejabat negara dan perangkat desa pun bukan Aparatur Sipil Negara (ASN). Itu rekrutmennya pun tidak jelas. Sehingga perangkat desa itu tidak masuk dalam regulasi undang-undang nomor 5 tahun 2015 tentang ASN, karena sifatnya hanya lembaga rakyat,” ungkap Prof.Hanif saat dihubungi Suara Karya, Minggu, (29/10).

Kemudian, kata dia, kalau perangkat desa dimasukan dalam  undang-undang nomor 23 tahun 2003, tentang ketenaga kerjaan pun juga tidak bisa.

“Artinya dia (perangkat desa-red) pegawai apa, tapi anehnya diberi kewenangan untuk mengelola keuangan negara dari rakyat. Itukan kalau di analogikan seperti pedagang kaki lima yang dia tidak memiliki kompetensi mengelola usahanya, akan tetapi diberikan modal untuk mengembangkan usaha dengan sistem akuntansi modern, untuk menyusun jurnal dan  neraca. Apa itu tidak stres. Sementara banyak Kepala Desa yang tidak memiliki kompetensi mengenai itu. Maka wajar kalau dana desa hari ini banyak yang disalah gunakan,” ungkap Hanif.

Lanjut Prof.Hanif, banyaknya penyelewengan dana desa yang berujung kepada proses hukum kepada sejumlah Kepala Desa merupakan ekses sebuah kebijakan politik yang tidak didasari dengan kajian yang matang yang terkesan “ngawur”.

Menurut dia, penggelontoran DD ke seluruh desa merupakan tindakan yang hanya menghambur-hamburkan uang negara tanpa memiliki target yang jelas. Sementara, banyak posting anggaran yang tumpang tindih. Pada sisi lain daerah memiliki sistem otonomi daerah yang diberikan kewenangan penuh dalam proses pemerintahan.

“Jadi begini, terkait dana desa sebenarnya sudah di lakukan sejak orde baru. Yaitu pada saat Rarencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama. Hanya namanya saja yang berbeda dengan sekarang. Dulu pada zaman pak Harto tahun 1969, dana desa disebut uang bantuan desa (Bandes). Jumlahnya pertama kali Seratus Ribu. Dan tiap tahun meningkat hingga terakhir Sembilan Juta,” ujar Hanif.

Kemudian di tengah perjalanan pada tahun 1995, untuk desa miskin ada bantuan Inpres Desa Tertinggal (IDT), yang jumlah penerimaan per-desa Rp20.000.000. Polanya, kata dia, persis tidak berubah, hanya namanya saja yang berubah.

“Itu hanya pola lama, kemasannya aja yang baru. Akan tetapi tidak pernah ada hasilnya dan tidak ada target yang jelas. Akan tetapi karena kurangnya kajian dan banyak di intervensi kepentingan politik, sehingga dana desa sangat kental dangan kepentingan tujuan politik tertentu. Selain itu,  hanya dijadikan komuditas politik untuk meraih kekuasaan,” tukas Prof Haif.

Lanjut Hanif, pola penggunaan dana desa sudah merupakan produk gagal yang perlu mendapatkan perhatian serius. Karena kalau itu terus dibiarkan akan menggerogoti keuangan negara. Di satu sisi hutang negara terus meningkat. Namun di sisi lain ada pos annggaran yang dinilainya tidak tepat guna dan tepat sasaran.

“Pada saat menyusun RUU Desa, saya paling teriak untuk menentang program tersebut. Sekarang baru terbukti bahwa program tersebut gagal. Dan mereka baru teriak-teriak karena kebijakan itu ngawur,” ujarnya.

Menurut dia kebijakan konsep dana desa adalah sebuah fakta yang dibolak-balikan tidak masuk logika demokrasi.

“Ini pakai logika dan teori apa. Dikatakan Desa mempunyai asas rekognisi dan subsidiaritas. Yang aneh rekognisi diberi pengertian mengakui hak adat dan asal-usul dan subsidiaritas adalah memberi kewenangan skala lokal. Pengertian demikian misleading, melenceng dari konsep aslinya. Penyusun UU Desa gagal paham asas rekognisi dan subsidiaritas,” terang Prof.Harnif.

Hanif menilai, program dana desa yang hari ini digulirkan hanya dijadikan kesepakatan politik dengan dalih kepentingan elektoral.

“Jadi lagi-lagi, karena politisi itu sudah kadung janji pada para Kepala Desa. “Kalau dana desa bisa saya golkan kamu harus pilih aku” itu keseakatan pilitik dana desa. Meski tidak jelas arahnya tapi terus dipaksakan,” ujar Hanif.

Untuk itu, dirinya meminta kepada pihak DPR segera merevisi undang-undang pemerintahan desa dan segera menghentikan program tersebut. Karena, kata dia, kalau program DD itu diteruskan bakal mengganggu keuangan negara.

Selain itu, dirinya juga mengkritisi adanya term jabatan Kepala Desa hingga tiga periode. Menurutnya dalam kaajian demokrasi tidak satupun yang mengatur kewenangan dan masa jabatan itu hingga tiga periode.

“Ini sebuah kebijakan yang sangat kontroversi, dalam sistem demokrasi yang tidak ada di negara mana pun. Karena, itu terjadi hanya adanya tawar-menawar. Padahal pemilihan kepala desa itu bukan kearifan lokal tapi kebijakan kolonial zaman Raffles tahun 1814,” tandasnya

Jadi, Kepala Desa bisa menjabat selama delapan belas tahun. Padahal, menurutnya, yang namanya demokrasi itu pembatasan masa jabatan. Dan di negara mana pun masa jabatan pemerintahan paling maksimal dua term atau dua periode. Tapi lagi-lagi kalangan legislatif berdalih mengakomodir kearifan lokal. Sementara persoalan desa saat ini terus muncul.

Kolonialisme Pemerintahan Desa

Pada zaman penjajahan, pemerintahan desa dimasukan dalam instrumen negara. Akan tetapi Pemerintahan Belanda saat itu dinilai nakal. Karena, meski dijadikan alat negera prekteknya aparat desa tidak dinegarakan, namun dipertahankan hanya sebagai lembaga rakyat.

“Artinya dengan lembaga rakyat, Belanda tidak mau membayar (menggaji) karena itu kan sebagai lembaga rakyat. Naah, dengan perangkat desa yang dinegarakan, Belanda bisa memberikan perintah kepada Kepala Desa-nya. Diantaranya, untuk menarik pajak yang kedua yaitu untuk menyediakan tenaga rodi. Kemudian setelah tahun 1910, masuk kedalam politik etis, Kepala Desa dapat memerintah rakyatnya bersekolah , yang saat itu disebut sekolah rakyat (SR),” ujar Prof Hanif.

Kemudian, kata Hanif, lembaga desa diberikan kewenangan untuk membentuk ekonomi desa yang kemudian berubah nama menjadi lumbung desa. Namun, segala aktivitas perangkat desa kala itu pemerintahan Belanda tidak mau membayarnya atau menggaji, akan tetapi para Kepala Desa saat itu mendanainya dengan menggunakan upah pungut pajak atau upeti dan mendapatkan jatah tanah yang disebut Lunggguh/Tanah Palungguhan (tanah yang di inventariskan bagi pejabat yang duduk di pemerintahan desa). Yang kemudian istilah tanah lungguh itu berubah menjadi tanah Bengkok dengan mengambil  jatah seper lima.

“Terkait pemerintahan desa saat ini, tidak ubahnya dalam sistim yang diterapkan pada zaman kolonialisme. Perangkat desa hanya dijadikan pemungut pajak, mereka hanya diberikan prosentase upah pungut, namun dalam pembiayaan struktur kepegawaian tidak digaji oleh negara. Sementara, tanah bengkok yang menjadi inventaris Kepala Desa mungkin sudah jarang dimiliki. Artinya dengan adanya dana desa yang digelontorkan dari pusat, akhirnya kerap dijadikan bancakan. itu terjadi karena sistem kolonialisme tadi,” pungkas Hanif.
Previous
Next Post »
0 Komentar