Dampak Poligami pada si Anak, dari ikut Mencontoh sampai Enggan Mendua

Poligami memiliki dampak tersendiri pada anak. Psikolog anak dan praktisi Theraplay PION Clinican, Astrid WEN mengatakan dampak itu bisa berupa berkurangnya rasa kasih sayang dan perhatian yang diterima anak, hingga anak mengikuti tindakan poligami orang tuanya saat dewasa kelak.

“Beberapa anak bisa berpikir untuk melakukan poligami saat dewasa nanti,” kata Astrid saat dihubungi Selasa 5 September 2017.

Dari sisi perhatian, Astrid mengatakan si anak pastinya akan merasakan kehilangan ayah mereka yang tidak bisa setiap hari hadir di rumah. Hal itu akan berbeda ketika si ayah menghabiskan waktu dengan bekerja.  Saat dinas atau pergi ke luar kota, kantor biasanya memiliki jadwal pasti. Sehingga anak bisa memprediksi kapan ayahnya akan pulang. Sedangkan pembagian waktu saat poligami sering tidak terjadwal. “Anak belajar bahwa ayah tidak bisa hadir dan diandalkan di waktu sulit anak. Bisa saja, anak belajar jadi tidak percaya kepada orang tua. Pikiran itu bisa dibawa ke lingkungan,” kata Astrid.

Anak pun akan merekam situasi di lingkungan keluarganya itu. Mencontoh sang ayah, anak laki-laki misalnya akan melihat hal yang wajar bila seorang pria dewasa memiliki istri lebih dari satu. “Anak lelaki bisa timbul mindset bahwa laki-laki dewasa berhak memiliki istri banyak,” katanya.

Sebaliknya, mencontoh sang ibu, anak perempuan akan merasa bahwa seorang wanita dewasa harus siap dimadu. Tak hanya itu, anak jadi belajar dan bisa juga mencontoh bagaimana si ayah memperlakukan istri istrinya, atau ibu yang tetap menghargai suaminya. “Cara mengkomunikasikan kasih dan cara berhubungan di depan anak tanpa sadar akan menjadi konsep dalam diri anak,” katanya.
Bukan hal yang mutlak anak akan mencontoh poligami yang dilakukan para orang tua mereka. Ada pula anak yang justru berpikir enggan mendua setelah melihat orang tuanya. Anak, kata Astrid, bisa saja jadi mencari tahu bagaimana sebenarnya hubungan yang sehat dan aman. Bila kehidupan poligami orang tuanya tidak mulus, bisa saja si anak jadi belajar untuk tidak menyakiti pasangannya kelak.

Astrid mengatakan seorang anak sebaiknya tumbuh di lingkungan yang memiliki hubungan relasi yang aman. Artinya, orang tua mereka bisa memberikan emosi dan psikis yang baik kepada anak, sehingga anak bisa merasa dicintai dengan aman oleh orang tuanya. Kondisi itu berlaku bagi orang yang menjalani poligami dan tidak. “Hubungan orang tua mereka sebaiknya tidak memiliki kecemasan,” katanya.

Astrid berharap para orang tua bisa menjelaskan secara sederhana kepada si anak tentang hubungan poligami minimal saat anak berusia 11 tahun. Hal itu bisa mengurangi kebingungan anak yang akan membandingkan kondisi keluarga mereka dengan orang tua teman-temannya.
Previous
Next Post »
0 Komentar