Mengapa Perempuan Jepang Tertarik Pada ISIS?


Menurut laporan media, lima perempuan Jepang termasuk yang ditahan setelah jatuhnya markas besar "Negara Islam di Irak dan Suriah" di dekat Mosul.
Mengapa mereka pergi dari negaranya yang aman dan damai ke kawasan perang, negeri antah-berantah dan penuh kekerasan itu?
Berita bahwa beberapa perempuan Jepang ditahan di Irak, setelah mengadakan perjalanan ke sana untuk menikahi anggota organisasi teror yang menyebut diri Negara Islam di Irak dan Suriah ( ISIS) mengejutkan banyak orang di Jepang.

Namun demikian, tidak banyak simpati diutarakan bagi penderitaan kelima perempuan itu.
Laporan media dari Irak mengungkap lebih dari 1.330 perempuan asing, juga anak-anak, saat ini ditahan di sebuah kamp pengungsi di bagian utara Irak.
Warga negara asing tersebut, yang menurut Associated Press adalah keluarga para pejuang ISIS, menyerahkan diri kepada pasukan Kurdi akhir Agustus 2017 setelah markas ISIS Tal Afar, dekat Mosul, jatuh ke tangan pasukan Kurdi.

Warga asing diperkirakan berasal dari 14 negara, dan menurut majalah Jepang Shukan Bunshun, lima orang adalah warga negara Jepang.
Pemerintah Jepang tidak memberikan informasi apa pun, misalnya tentang nama atau umur lima orang itu.

Namun, ada spekulasi, setidaknya seorang dari perempuan yang ditahan mengadakan perjalanan ke Irak untuk menikahi seorang pejuang ISIS.  Dari lima orang itu kemungkinan juga ada anak-anak.
Laporan mengejutkan Jepang, karena selama ini, satu-satunya laporan bahwa ada warga Jepang yang berusaha bergabung dengan ISIS adalah seorang mahasiswa dari universitas Hokkaido yang ditahan setelah mengatakan akan ikut revolusi.

Dampak medsos
Di Eropa, laporan tentang perempuan yang pergi untuk menjadi istri militan ISIS selalu dapat perhatian besar.
Ceritanya selalu berawal dengan perempuan muda yang mudah terpengaruh, yang dirayu lewat media sosial, dan diyakinkan untuk pergi dari negaranya yang damai dan stabil untuk tinggal di kawasan perang.
Makoto Watanabe, profesor bidang komunikasi dan media di Universitas Hokkaido Bunkyo, mengatakan kepada Deutsche Welle, kemungkinan besar cara serupa juga digunakan untuk menarik perempuan Jepang.

Ia menambahkan, "Kaum muda Jepang semakin terpisah dari masyarakat. Itu adalah dampak internet dan media sosial."
Menurut Watanabe, mereka kerap kesepian dan berusaha mencari identitas diri. Mereka juga kerap punya banyak pertanyaan.
"Pertanyaan mereka bisa mencakup agama atau Tuhan. Dan jawaban yang mereka dapat di internet bisa jadi sangat menarik."

Selain itu, kebudayaan Timur Tengah, kesenian, sejarah, dapur dan agamanya pernah jadi trend di kalangan kaum muda, terutama perempuan.
Banyak dari mereka cukup tertarik sehingga ikut acara di majid di distrik Shibuya, Tokyo.
Seorang juru bicara The Japan Muslim Association mengatakan, ia tidak sadar ada laporan tentang perempuan Jepang yang pergi ke Irak untuk bergabung dengan ISIS, dan menolak memberikan komentar tentang kemungkinan penyebabnya.

Mirip Aum Shinrikyo
Watanabe percaya, mungkin ada kemiripan antara orang yang bergabung dengan ISIS, dan yang bergabung dengan Aum Shinrikyo, kultus atau sebuah gerakan agama baru Jepang yang meramalkan kiamat, merencanakan penggulingan pemerintah dan mendirikan negaranya sendiri.

Nama "Aum Shinrikyo" berasal dari suku kata bahasa Senskerta Aum (yang melambangkan alam semesta), diikuti kata Shinrikyo dalam huruf Kanji, kira-kira berarti "Agama Kebenaran".
Tujuan mereka bubar setelah beberapa anggotanya melepas gas sarin di jaringan kereta bawah tanah Tokyo tahun 1995, dan menyebabkan tewasnya 12 orang dan mencederai 4.000.

"Mereka yang bergabung dengan sekte Aum berusaha menemukan tempat dan makna bagi diri mereka, dan tertarik pada organisasi yang punya kredo kuat," demikian Watanabe.
Apapun motivasinya, perempuan yang telah menikahi pejuang ISIS tidak bisa mengharapkan sambutan hangat jika kembali ke Jepang, walaupun pemerintah kemungkinan tidak akan mengambil tindakan apapun terhadap mereka.

KOMPAS
Previous
Next Post »
0 Komentar