Sebagai negara yang tengah berkembang pesat, Indonesia tentu tidak ketinggalan ikut memfasilitasi perkembangan industri berbasis teknologi informasi. Tak kurang Presiden Jokowi sendiri yang pernah menyatakan mendukung kehadiran industri start-up, termasuk taksi online, karena merupakan bagian dari industri kreatif yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Di era masyarakat digital, telah disadari bahwa perubahan sosial yang berlangsung bukan lagi sekadar dipicu oleh kekuatan modal kapitalisme, tetapi juga ditandai oleh makin dominannya peran teknologi informasi yang kemudian melahirkan kapitalisme informasi dan masyarakat informasi.
Berbeda dengan masyarakat industrial atau kapitalisme awal yang melahirkan kelas pekerja atau kaum buruh yang sehari-hari menghabiskan waktu di pabrik, di era masyarakat post-industrial, perkembangan teknologi informasi dan kekuatan informasi telah melahirkan gaya hidup baru, simbol-simbol baru, dan aktivitas industri yang lebih banyak bergerak di bidang jasa, terutama pekerjaan dan usaha yang lebih banyak berkecimpung dengan proses mengolah informasi dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi maupun sosial, dan bahkan politik.
Informasi berkecepatan tinggi –yaitu konvergensi berbagai teknologi ke dalam teknologi informasi terpadu– dan tumbuhnya nilai-nilai penting jasa padat-pengetahuan secara finansial telah menciptakan basis teknis dan ekonomis baru bagi kapitalisme kontemporer (Abercrombie, 2010).
Bagi pelaku ekonomi lama, seperti taksi konvensional, kehadiran taksi online jelas merupakan ancaman serius. Jangankan menghadapi pesaing baru yang lebih murah dan lebih mudah diakses konsumen, menghadapi iklim persaingan dengan sesama taksi konvensional saja sudah merupakan hal yang berat. Jadi, bisa dipahami jika reaksi para pemain lama di jasa layanan transportasi ini cenderung keras, bahkan sempat diwarnai berbagai aksi anarkistis menolak kehadiran taksi online.
Untuk mencegah agar resistansi pelaku transportasi konvensional tidak makin menjadi-jadi, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi kembali mengeluarkan Revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Dalam revisi aturan baru ini, ada sejumlah aspek yang diatur berkaitan dengan kewenangan kepala daerah, seperti penetapan tarif, wilayah operasi, dan kuota.
Revisi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 yang berlaku efektif mulai 1 November 2017 ini bertujuan untuk menjamin keselamatan masyarakat dan melindungi industri taksi. Dari sembilan aspek yang diatur dalam regulasi baru tersebut, setidaknya ada empat poin yang menyangkut keterlibatan dan kewenangan pemerintah daerah, yakni tarif taksi daring berbasis aplikasi ditetapkan oleh direktur jenderal perhubungan darat atas usulan dari gubernur sesuai kewenangannya.
Harapan Menhub sudah barang tentu revisi aturan tentang transportasi daring ini akan ditaati semua pihak. Tetapi, di era perkembangan masyarakat digital yang makin masif, mungkinkah kehadiran transportasi online dikekang dan dihambat perkembangannya? Pertanyaan ini penting untuk dikaji lebih jauh, karena apa yang menjadi dasar keputuan pemerintah tentu tidak hanya kepentingan para pemain lama di bidang jasa layanan transportasi, tetapi juga kepentingan masyarakat sebagai konsumen.
Sebagai konsumen, tentu wajar jika masyarakat menghendaki tarif transportasi diatur semurah mungkin dan menguntungkan para penggunanya. Castells (2000) menyatakan, kemunculan ’’kapitalisme informasional’’ atau aktivitas ekonomi informasional tidak terhindarkan.
Menurut Castells, yang dimaksud dengan ’’informasionalisme’’ adalah sebuah mode perkembangan di mana sumber utama produktivitas terletak pada optimalisasi kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi berbasis pengetahuan dan informasi. Dalam kajiannya tentang perkembangan masyarakat modern, Castells meyakini bahwa informasi memainkan peran penting dalam pengorganisasian aktivitas ekonomi di masyarakat kontemporer. Penerapan pengetahuan (knowledge) dan informasi menghasilkan suatu proses inovasi teknik yang sifatnya akumulatif serta berpengaruh signifikan terhadap organisasi sosial.
Di balik berbagai kelebihan kapitalisme informasional, Castells sendiri sebetulnya telah memperingatkan kemungkinan munculnya polarisasi sosial dan eksklusi sosial akibat kehadiran ekonomi online. Proses globalisasi, perkembangan jaringan bisnis, dan individualisasi pekerjaan di satu sisi memang mempermudah komunikasi dan kontrol dalam skala global. Tetapi, di saat yang sama, berbagai kemajuan dan munculnya aktivitas perekonomian berbasis daring juga berisiko memperlemah model-model aktivitas bisnis konvensional dan mengancam stabilitas kerja manual karena masuknya peran teknologi informasi dan sistem jejaring yang tidak bisa dibatasi ruang dan waktu.
Ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat post-modern atau masyarakat post-industrial yang berbasis teknologi informasi, hal itu tentu tidak hanya mengubah gaya hidup dan cara hidup mereka, tetapi yang tak kalah penting hal itu juga mengubah kebutuhan, standar, dan tuntutan masyarakat.
Siapakah yang harus disalahkan dan dikorbankan jika kehadiran taksi online melayani tuntutan masyarakat sebagai konsumen yang selalu menginginkan kemudahan dan tarif yang murah? (*)
(*) Dosen masyarakat informasi di FISIP Universitas Airlangga)
Berbeda dengan masyarakat industrial atau kapitalisme awal yang melahirkan kelas pekerja atau kaum buruh yang sehari-hari menghabiskan waktu di pabrik, di era masyarakat post-industrial, perkembangan teknologi informasi dan kekuatan informasi telah melahirkan gaya hidup baru, simbol-simbol baru, dan aktivitas industri yang lebih banyak bergerak di bidang jasa, terutama pekerjaan dan usaha yang lebih banyak berkecimpung dengan proses mengolah informasi dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi maupun sosial, dan bahkan politik.
Informasi berkecepatan tinggi –yaitu konvergensi berbagai teknologi ke dalam teknologi informasi terpadu– dan tumbuhnya nilai-nilai penting jasa padat-pengetahuan secara finansial telah menciptakan basis teknis dan ekonomis baru bagi kapitalisme kontemporer (Abercrombie, 2010).
Bagi pelaku ekonomi lama, seperti taksi konvensional, kehadiran taksi online jelas merupakan ancaman serius. Jangankan menghadapi pesaing baru yang lebih murah dan lebih mudah diakses konsumen, menghadapi iklim persaingan dengan sesama taksi konvensional saja sudah merupakan hal yang berat. Jadi, bisa dipahami jika reaksi para pemain lama di jasa layanan transportasi ini cenderung keras, bahkan sempat diwarnai berbagai aksi anarkistis menolak kehadiran taksi online.
Untuk mencegah agar resistansi pelaku transportasi konvensional tidak makin menjadi-jadi, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi kembali mengeluarkan Revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Dalam revisi aturan baru ini, ada sejumlah aspek yang diatur berkaitan dengan kewenangan kepala daerah, seperti penetapan tarif, wilayah operasi, dan kuota.
Revisi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 yang berlaku efektif mulai 1 November 2017 ini bertujuan untuk menjamin keselamatan masyarakat dan melindungi industri taksi. Dari sembilan aspek yang diatur dalam regulasi baru tersebut, setidaknya ada empat poin yang menyangkut keterlibatan dan kewenangan pemerintah daerah, yakni tarif taksi daring berbasis aplikasi ditetapkan oleh direktur jenderal perhubungan darat atas usulan dari gubernur sesuai kewenangannya.
Harapan Menhub sudah barang tentu revisi aturan tentang transportasi daring ini akan ditaati semua pihak. Tetapi, di era perkembangan masyarakat digital yang makin masif, mungkinkah kehadiran transportasi online dikekang dan dihambat perkembangannya? Pertanyaan ini penting untuk dikaji lebih jauh, karena apa yang menjadi dasar keputuan pemerintah tentu tidak hanya kepentingan para pemain lama di bidang jasa layanan transportasi, tetapi juga kepentingan masyarakat sebagai konsumen.
Sebagai konsumen, tentu wajar jika masyarakat menghendaki tarif transportasi diatur semurah mungkin dan menguntungkan para penggunanya. Castells (2000) menyatakan, kemunculan ’’kapitalisme informasional’’ atau aktivitas ekonomi informasional tidak terhindarkan.
Menurut Castells, yang dimaksud dengan ’’informasionalisme’’ adalah sebuah mode perkembangan di mana sumber utama produktivitas terletak pada optimalisasi kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi berbasis pengetahuan dan informasi. Dalam kajiannya tentang perkembangan masyarakat modern, Castells meyakini bahwa informasi memainkan peran penting dalam pengorganisasian aktivitas ekonomi di masyarakat kontemporer. Penerapan pengetahuan (knowledge) dan informasi menghasilkan suatu proses inovasi teknik yang sifatnya akumulatif serta berpengaruh signifikan terhadap organisasi sosial.
Di balik berbagai kelebihan kapitalisme informasional, Castells sendiri sebetulnya telah memperingatkan kemungkinan munculnya polarisasi sosial dan eksklusi sosial akibat kehadiran ekonomi online. Proses globalisasi, perkembangan jaringan bisnis, dan individualisasi pekerjaan di satu sisi memang mempermudah komunikasi dan kontrol dalam skala global. Tetapi, di saat yang sama, berbagai kemajuan dan munculnya aktivitas perekonomian berbasis daring juga berisiko memperlemah model-model aktivitas bisnis konvensional dan mengancam stabilitas kerja manual karena masuknya peran teknologi informasi dan sistem jejaring yang tidak bisa dibatasi ruang dan waktu.
Ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat post-modern atau masyarakat post-industrial yang berbasis teknologi informasi, hal itu tentu tidak hanya mengubah gaya hidup dan cara hidup mereka, tetapi yang tak kalah penting hal itu juga mengubah kebutuhan, standar, dan tuntutan masyarakat.
Siapakah yang harus disalahkan dan dikorbankan jika kehadiran taksi online melayani tuntutan masyarakat sebagai konsumen yang selalu menginginkan kemudahan dan tarif yang murah? (*)
(*) Dosen masyarakat informasi di FISIP Universitas Airlangga)
0 Komentar