"Rapor Ekonomi Jokowi-JK"


PADA Oktober 2017, genap tiga tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK). Tidak dimungkiri ada beberapa pencapaian yang berhasil diraih selama masa pemerintahannya. Namun, di sisi lain, tentu saja ada beberapa aspek yang harus dikritisi demi perbaikan ke depan.

Beberapa capaian bahkan bisa dikatakan sebagai milestone karena relatif belum banyak dilakukan pada masa-masa presiden sebelumnya. Pembangunan infrastruktur yang merupakan salah satu penekanan utama saat ini telah menunjukkan bukti awal keberhasilannya. Tujuan utamanya adalah menekan biaya transportasi dan logistik yang selama ini diduga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya high cost economy dan menyebabkan daya saing produk Indonesia kalah dibanding negara lain.

Saat ini konektivitas antarkabupaten/kota di berbagai wilayah, baik di Jawa dan terutama di luar Jawa, sudah jauh lebih baik. Terbangunnya sekian banyak ruas tol, pelabuhan, dan bandara menjadi bukti yang harus diakui.

Pola pembangunan sekarang juga tidak lagi bersifat Jawa-sentris karena pemerintah sangat memperhatikan ketertinggalan wilayah di luar Jawa. Rintisan trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua sudah mulai menunjukkan hasilnya.

Yang juga fenomenal adalah kebijakan penetapan harga BBM tunggal sehingga masyarakat di pegunungan Papua tidak harus membayar harga BBM sekian puluh kali lipat lebih tinggi dari masyarakat Jawa. Beberapa hal ini relatif belum banyak dilakukan oleh para pendahulunya, yang biasanya lebih banyak mengambil kebijakan yang ’’relatif aman’’, bahkan cenderung populis. Sebagai penyeimbang, pembangunan infrastuktur lain juga mendapat kritik karena dinilai terlalu ambisius, misalnya megaproyek 35.000 mw di bidang kelistrikan.

Pertumbuhan EkonomiDalam bidang ekonomi, catatan pertama yang perlu dikemukakan adalah pertumbuhan ekonomi karena variabel ini mempunyai multiplier effect yang besar terhadap aspek yang lain. Sejauh ini, pertumbuhan ekonomi belum begitu menggembirakan.

Tahun 2014 sampai 2016, angkanya berturut-turut sebesar 5,02%, 5,04%, dan 5,02%. Pada tahun 2017 ini target pertumbuhan ekonomi hampir mustahil tercapai karena pada kuartal 1 dan 2 angkanya hanya 5,01%. Untuk mencapai 5,2%, berarti pertumbuhan ekonomi pada kuartal 3 dan 4 rata-rata harus sebesar 5,39%. Suatu angka yang kelihatannya nyaris mustahil terpenuhi di tengah isu adanya pelemahan daya beli masyarakat dan minimnya ekspansi usaha.

Capaian ini relatif mini karena daya dukung terhadap pengurangan angka pengangguran dan penurunan kemiskinan relatif terbatas. Data terakhir menunjukkan tingkat pengangguran per Februari 2017 masih 5,33% dan tingkat kemiskinan pada Maret 2017 sebesar 10,64%. Idealnya, supaya pengangguran dan kemiskinan turun secara masif, pertumbuhan ekonomi seharusnya sekitar 7%. Diukur dari kapasitas dan daya dukung ekonomi-sosial yang ada, capaian sebesar ini bukanlah suatu utopia. Apalagi saat ini Indonesia tengah menikmati bonus demografi, seharusnya potensi ini bisa dioptimalkan.

Pembangunan infrastruktur yang berdampak jangka panjang dianggap sebagai salah satu faktor penyebab, meskipun argumentasi ini masih bisa diperdebatkan. Rendahnya pertumbuhan ekonomi juga ditambah dengan turunnya elastisitas penciptaan lapangan kerja, dari yang semula di angka 400 ribu menjadi sekitar 250 ribu. Otomatis penciptaan lapangan kerja di sektor formal semakin terbatas.

Untungnya, di Indonesia ada sektor informal yang menjadi ’’penyelamat’’ sehingga tingginya angka pengangguran tidak sampai menimbulkan gejolak sosial. Penyebaran kue pembangunan ekonomi juga belum begitu memuaskan, dilihat dari masih tingginya indeks gini yang ada. Posisi terakhir angkanya di 0,39%, turun sedikit dibanding pada tahun 2016 di angka 0,40. Pemerataan ekonomi bisa dikatakan belum berjalan sebagaimana mestinya.

Yang juga banyak mendapat sorotan adalah pertumbuhan utang luar negeri Indonesia. Bank Indonesia (BI) melaporkan, per Agustus 2017, utang luar negeri Indonesia tercatat USD 340,5 miliar atau setara Rp 4.590,9 triliun. Angka ini tumbuh 4,7% dibandingkan Juli 2017. Utang luar negeri sektor swasta tercatat USD 165,6 miliar atau 48,6% dari ULN. Angka ini tumbuh 0,1% setelah pada Juli 2017 mengalami penurunan sebesar 1,1%. Utang sektor publik pada Agustus 2017 tercatat USD 174,9 miliar atau 51,4% dari ULN. Angka ini juga tumbuh 9,5%, meningkat dari 9,2% pada Juli 2017. Memang dilihat dari debt service ratio, angkanya relatif aman karena masih di bawah 60%, sesuai standar internasional. Rasio ULN Indonesia terhadap PDB pada akhir triwulan II 2017 tercatat stabil di kisaran 34,2% dan bahkan menurun jika dibandingkan dengan triwulan II 2016 yang sebesar 37,2%.

Di samping beberapa hal di atas, ada catatan positif yang perlu diapresiasi. Kinerja inflasi, cadangan devisa, dan IHSG cukup memuaskan. Nilai tukar rupiah sejauh ini relatif stabil, meskipun akhir-akhir ini agak melemah ke level 13.500-an. Memang prestasi ini lebih tepat diberikan kepada Bank Indonesia, namun pemerintah tetap memiliki kontribusi. Rupiah dan IHSG banyak dipengaruhi pemberian peringkat layak investasi oleh tiga lembaga rating terkemuka. Indonesia juga mengalami peningkatan kinerja dalam hal peringkat kemudahan berbisnis dan daya saing.

Sebagai catatan akhir, dapat disampaikan bahwa rapor ekonomi pemerintahan Jokowi-JK cukup memadai meskipun masih banyak sekali PR yang tersisa. Mungkin kalau di dunia pendidikan lebih pas diberi nilai tujuh. (*)

(*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Surakarta)
Previous
Next Post »
0 Komentar