di Balik Jatuhnya Zaman Rempah
Kredibel Times - Pada abad ke-16, rempah menjadi komoditi mahal yang diincar oleh bangsa Eropa. Harganya bahkan sempat lebih mahal ketimbang logam mulia seperti emas.
Namun kini, kejayaan rempah telah hilang. Rempah bahkan dijual di warung dan nama mahsyur pulau-pulau penghasil rempah seakan tenggelam. Apa sebabnya?
Jack Turner dalam bukunya "Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme" (2011) menjelaskan seorang Perancis bernama Pierre Poivre menjadi dalang kejatuhan era rempah. Poivre berambisi berlayar ke Maluku untuk menguasai rempah, padahal saat itu rempah Maluku dikuasai oleh Dutch East India Company (VOC) dari Belanda.
Jangan kira VOC tidak menjaga harta berharganya. Ada berbagai usaha dari yang paling biasa sampai paling keji dilakukan oleh VOC. Semua demi monopoli rempah, khususnya pala dan cengkeh.
"Belanda menjadikan para sultan sebagai boneka lewat sogokan uang, hadiah, dan ancaman. Para penyeludup ditenggelamkan di air, panen ilegal mendapat hukuman mati. Setelah panen pala diberi jeruk nipis sehingga tidak bisa disebarluaskan di tempat lain," tulis Turner.
Usaha Belanda berhasil, pada abad ke-17, harga pala dan cengkeh naik 2.000 persen. Namun di atas langit ada langit, Poivre lebih licik dari Belanda.
Poivre digambarkan sebagai seorang yang cerdas. Memiliki bekal ilmu botani, oportunis, dan pemberani. Perjalanan yang dilalui Poivre ke Maluku cukup berliku. Di tengah perjalanan, saat melewati Selat Bangka, kapalnya diserang oleh Inggris dan tangan kanannya terkena tembakan sehingga harus diamputasi.
Poivre kemudian singgah di Batavia. Karena cacat dan terlihat tak berdaya, Poivre dengan mudah mengumpulkan informasi terkait Maluku juga penyeludupan dan perdagangan ilegal. Di sana ia sadar ada celah dalam sistem pengawasan Belanda.
"Saya lalu menyadari bahwa kepemilikan rempah yang dikendalikan Belanda di Hindia didasari ketidaktahuan dan ketakutan akan perdagangan yang dilakukan negara Eropa lainnya. Seseorang hanya perlu mengetahui hal ini dan cukup berani untuk berbagi informasi tentang jaminan sumber
kemakmuran yang mereka kuasai di salah satu sudut dunia ini," kata Poivre.
Usaha pertama Poivre menuju Maluku kemudian gagal, karena terkendala musim. Saat itu ia juga menyalahkan kondisi kapal sponsor yang buruk.
Pada akhirnya Poivre mendapat pala kelas dua dari kepemilikan Portugis di Timor, dibawa ke Mauritius koloni Perancis di Samudra Hindia. Buah tersebut gagal tumbuh, Poivre menyalahkan rival botanisnya dengan aneka tuduhan seperti cemburu dengan merusak benih pala menggunakan air mendidih atau obat lain.
Kembali Mencoba
Poivre tak menyerah dengan ambisinya. Kembali ke Eropa, ia menulis buku memoar dari perjalanannya ke Maluku. Tulisan itu menjadi penyelamat Poivre. Seorang menteri kabinet pemerintahan Louis XV membacanya dan Poivre diberi sponsor untuk kembali melakukan pelayaran ke Maluku.
Poivre meminta bantuan dua orang untuk mengemudi kapal, yakni Evrad de Tremignon dan le sieur dÉtcheverry. Tahun 1770 mereka berlayar ke Maluku.
Angin keberuntungan tiba kepada Poivre. Anak buahnya, Etcheverry, bertemu orang Belanda di Ambon yang sudah bosan dan kecewa dengan kehidupan pulau tersebut sehingga bersedia membeberkan segala informasi. Informasi paling penting adalah Pulau Gueby, tempat penduduk pulau menanam cengkeh dan pala ilegal di dalam hutan.
Meski sempat dicurigai, akhirnya Poivre diberi ribuan benih pala. Penduduk Gueby mendukung segala gerakan yang merugikan Belanda. Dari pulau tetangga Pulau Gueby dibawakan ratusan benih cengkeh muda.
Poivre berlayar ke Mauritius. Meski sempat terkena patroli Belanda, mereka pura-pura tersasar. Di Mauritus, pala dan cengkeh ditanam. Tahun 1776 tercatat sebagai panen cengkeh pertama, dan dua tahun kemudian panen pala pertama di Mauritius.
Pala dan cengkeh akhirnya ditanam di negara koloni Perancis lain seperti Seychelles. Namun tak pernah benar-benar tumbuh subur karena kurangpedulian otoritas dan politik setempat.
Ketika Poivre meninggal, usahanya baru terbayar meski keuntungan juga bukan mengalir ke Perancis. Cengkeh rampasan Poivre disalurkan dari Mauritius menuju Madagaskar, Pemba, dan Zanzibar dan tumbuh luar biasa subur.
"Jika akhirnya Poivre ternyata lebih flamboyan daripada efektif, ia tetap menjadi figur ikonik dari mundurnya perdagangan rempah," tulis Turner.
KOMPAS
0 Komentar