"Kita tidak bisa membiarkan patologi birokrasi melebar karena bisa terjadi klimaks yaitu ketidakpercayaan masyarakat. Namun juga harus menyiapkan rakyat secara bertahap memahami arti penting meritokrasi karena kalau tidak terkoneksi, akhirnya bisa balik kepada patologi," kata Taufik dikutip dari Antara, Senin (30/10).
Hal itu dikatakan Taufik Kurniawan usai mengajar di Program Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Semarang, Sabtu (28/10).
Taufik menjelaskan, patologi birokrasi dapat terlihat antara lain tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penyalahgunaan kekuasaan, dan penempatan seorang tidak berdasarkan pandangan objektif.
Dia menjelaskan, di era Orde Baru, patologi birokrasi sangat terlihat sekali dalam penempatan pejabat harus berdasarkan rekomendasi dari keluarga Presiden Soeharto sehingga banyak kepala daerah merupakan mantan ajudan Presiden Soeharto.
"Di era reformasi, muncul harapan agar sistem meritokrasi bisa diterapkan, yaitu penempatan seorang birokrat di pemerintahan berdasarkan pandangan objektif, berbasis kinerja, dan menerapkan azas profesionalisme," ujarnya.
Menurut dia, penerapan meritokrasi merupakan bentuk ideal dalam sistem aparatur sipil negara namun harus dilihat secara empiris kondisi masyarakat, sehingga penerapannya harus secara perlahan-lahan.
taufik mengajar program pasca sarjana di universitas diponegoro ©2017 Merdekacom/dokumen pribadi
Wakil Ketua Umum PAN itu mengatakan, dalam penerapan meritokrasi tidak boleh hanya melihat dari sisi akademis saja namun kondisi empiris masyarakat apakah sudah siap atau belum.
"Kita tidak hanya melihat dari kajian akademis saja namun lihat apakah masyarakat sudah siap atau belum misalnya kapasitas kemampuan pemimpin, 'key performance index' hanya karena euphoria," kata Taufik yang disodorkan PAN maju jadi calon wakil gubernur Jawa Tengah ini.
Dia mengingatkan, di era reformasi ini politik uang masih terjadi karena beberapa faktor misalnya terkait mentalitas masyarakat dan kondisi kemiskinan yang gampang terpengaruh dengan godaan penyakit demokrasi.
Menurut dia, meskipun Indonesia melakukan proses reformasi, namun ada sekelompok orang tidak bertanggung jawab tidak menyadari esensinya sehingga menjual kemiskinan dan memberikan janji-janji politik.
"Reformasi masih menjual kemiskinan dan politisasi sehingga akhirnya hanya janji-janji politik, belum dalam bentuk paparan visi dan misi agar masyarakat bisa sadar dalam memilih," ujarnya.
Karena itu, Taufik menilai, calon pemimpin yang visioner dibutuhkan untuk mewujudkan sistem meritokrasi dan secara teori pemimpin tersebut dilahirkan dan dibentuk.
Dia menjelaskan, pimpinan visioner dilahirkan dari proses elektoral yang di dalamnya ada partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi karena memiliki sistem pendidikan politik untuk menciptakan kader-kader terbaik yang dipersiapkan untuk menjadi calon pemimpin.
"Calon pemimpin visioner untuk meritokrasi dan kaum muda harus 'melek' politik praktis namun harus bertanggung jawab karena partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi," ujarnya.
Namun dia mengingatkan di era reformasi, pemimpin visioner ditentukan oleh rakyat karena mereka yang memilih namun tetap saja ada beberapa hal yang memengaruhi elektoral seperti partai politik, politik uang, lembaga survei yang mengorbitkan nama calon, dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam sistem demokrasi. [rnd]
0 Komentar