Pengamat: Analisa Formasi Tempur Presiden Jokowi untuk Pilpres 2019

Direktur Eksekutif Median Rico Marbun punya analisis menarik tentang reshufle kabinet jilid IV. Presiden Jokowi sedang menyiapkan “Formasi Tempur” untuk Pilpres 2019. Indikasinya cukup jelas.

Pertama, Jokowi memperkuat kursi parpol yang dipersiapkan akan menjadi partai pengusungnya. Kedua, Jokowi memperkuat figur militer dalam kabinet/timnya.

Untuk melengkapi formasi tempurnya yang ideal, Jokowi sampai harus melakukan dua pelanggaran janji kampanye. Para menterinya tidak boleh rangkap jabatan, dan sebagai kabinet kerja Jokowi akan lebih banyak menempatkan menteri dari kalangan profesional, bukan dari parpol.

Dalam barisan parpol, Jokowi memperkuat posisi Golkar dan Hanura dengan menambah masing-masing satu orang menteri. Dua partai ini secara resmi telah memutuskan untuk mendukung kembali Jokowi menjadi capres 2019.

Golkar mendapat tambahan satu menteri, Idrus Marham sebagai Mensos. Sementara Hanura mendapat tambahan satu orang yakni Jenderal (Purn) Moeldoko yang diangkat menjadi Kepala Staf Presidenan (KSP).

Khusus untuk Golkar, menempati posisi paling istimewa. Airlangga Hartarto yang baru terpilih menjadi Ketum Golkar tetap dipertahankan di kabinet. Dengan begitu Airlangga menjadi satu-satunya menteri yang merangkap sebagai ketum parpol. Sebuah keputusan berani dan tentu saja sudah diperhitungkan dengan masak kalkulasi politiknya.

Melihat formasi tersebut semakin jelas terlihat bahwa Golkar dipersiapkan Jokowi sebagai leader/partai utama pengusungnya, menggantikan PDI manakala diperlukan.

Golkar saat ini memiliki 91 kursi (14.75% suara). Tinggal butuh tambahan 21 kursi untuk memenuhi syarat presidential threshold 20% kursi (112 kursi) DPR atau 25% perolehan suara nasional.

Opsi pertama agar tiketnya aman, Jokowi sebenarnya bisa memilih Nasdem yang memiliki 35 kursi (6.72% suara). Partai besutan Surya Paloh itu juga telah memutuskan untuk mencalonkan kembali Jokowi. Sementara Hanura, jumlah kursinya hanya 16 (5.26% suara). Masih perlu tambahan 5 kursi lagi.

Dengan memilih menambah kursi Hanura, bukan Nasdem, tentu Jokowi punya kalkulasi sendiri. Faktor figur dan latar belakang Moeldoko tampaknya yang menjadi pertimbangan utama Jokowi.

Moeldoko adalah mantan Panglima TNI, sama seperti Wiranto yang sekarang menjadi Dewan Pembina Hanura. Lulusan terbaik Akabri 81 ini diperlukan Jokowi untuk menghadapi medan tempur yang akan dihadapi dalam Perang Baratayudha 2019.

Moeldoko menjadi purnawirawan perwira tinggi yang memperkuat pasukan Jokowi. Sebelumnya sudah ada Jenderal (Purn) Kehormatan Luhut Binsar Panjaitan, dan Jenderal TNI (Purn) Wiranto. Di barisan ini sebenarnya juga sudah ada mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn) Kehormatan A.M Hendropriyono.

Partai pimpinan Hendropriyono PKPI juga sudah menyatakan mencalonkan kembali Jokowi. Hanya saja seperti halnya Surya Paloh, Hendropriyono punya kedekatan personal yang sudah cukup lama dengan Megawati.

Masuknya Jenderal (Purn) Kehormatan Agum Gumelar sebagai anggota Wantimpres, menambah lengkap skuad ini sebagai tim bertabur bintang. Selain pengalamannya yang sangat luas di militer dan birokrasi pemerintahan, Agum juga dikenal sebagai perwira intelijen yang mumpuni. Dia pernah menjadi Direktur A Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI, menggantikan Hendropriyono.

Tiga skenario

Setidaknya ada tiga skenario yang bisa menjelaskan mengapa Jokowi perlu memperkuat kabinetnya dengan tokoh parpol dan militer.

Pertama, berbagai survei menunjukkan saat ini penantang potensial Jokowi adalah Prabowo. Latar belakang militer Prabowo membuat banyak gerbong militer berbaris di belakangnya. Dengan memperkuat barisan jenderal pendukungnya, Jokowi bisa mengimbangi, bahkan mengalahkan pasukan pendukung Prabowo.

Kedua, di luar Prabowo figur lain yang digadang-gadang akan menjadi penantang Jokowi adalah mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Di kalangan umat Islam dan partai “oposisi” (Gerindra, PKS, dan PAN) nama Gatot (Akabri 82) banyak dijagokan bila Prabowo memutuskan untuk tidak bertarung dan menjadi _king maker_.

Sebagai mantan Panglima TNI yang baru akan pensiun pada bulan Maret 2018, Gatot masih punya banyak pendukung di kalangan militer. Hadirnya para jenderal di lingkungan Jokowi diharapkan bisa menetralisir pengaruh tersebut. Apalagi Moeldoko adalah kakak tingkat Gatot dan juga Panglima TNI yang digantikan Gatot. Dalam dunia persilatan Gatot adalah adik seperguruan Moeldoko. Keduanya satu guru, satu ilmu.

[post_ads]

Ketiga, bila Jokowi benar akan berpisah jalan dengan Megawati, hadirnya para jenderal ini bisa membuatnya lebih percaya diri. Di lingkungan Megawati selain Hendropriyono yang dikenal sebagai maestro intelijen pasca Benny Moerdani, banyak berkumpul para perwira tinggi Polri. Salah satunya yang paling menonjol adalah Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan yang kini menjadi Kepala BIN.

Indikasi Megawati didukung jenderal Polri sangat terlihat dengan banyaknya jenderal polisi yang bertarung di Pilkada dan diusung PDIP. Mereka antara lain Irjen Pol Anton Charliyan (Jabar), Irjen Pol Syafruddin (Kaltim), dan Irjen Pol Murad Ismail (Maluku).

Jika skenario ini yang berjalan, bakal terjadi “perang bintang,” yang seru. Kekuatan mereka boleh dibilang cukup seimbang.

Bertambahnya menteri Golkar di kabinet juga bisa dilihat dalam konteks skenario ketiga ini. Seperti telah disebut sebelumnya Jokowi sangat membutuhkan Golkar sebagai tulang punggung (backbone) partai pengusungnya.

Hubungan Golkar dengan Jokowi adalah sebuah ironi. Pada Pilpres 2014 Golkar menjadi tulang punggung Koalisi Merah Putih berada di kubu seberang. Namun tampaknya sekarang Jokowi jauh lebih nyaman bersama Golkar. Alasannya cukup jelas. Di Golkar Jokowi diposisikan dan diperlakukan sebagai presiden sebenarnya. Sementara di PDIP levelnya baru sebatas petugas partai.

Saat ini Golkar termasuk yang paling banyak memiliki personil di kabinet, di luar PDIP.

Di lingkar dekat Jokowi ada empat tokoh Golkar. Wapres Jusuf Kalla, Menko Maritim Luhut Panjaitan, Airlangga, dan Idrus.

Pilihan atas figur Idrus Marham untuk menduduki posisi Mensos juga sangat cerdas. Idrus semasa mudanya adalah aktivis berbagai organisasi Islam. Dia pernah tercatat menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi ke NU.

Karena itu tak heran PKB mengklaim pergantian Mensos dari Khofifah ke Idrus merupakan pergantian dari kader NU yang satu, ke kader NU yang lain. Idrus juga pernah menjadi Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPMRI).

Dengan latar belakang aktivitasnya, Idrus dapat menjaga konstituen Jokowi di kalangan NU. Dia juga diharapkan bisa melakukan penetrasi ke kalangan aktivis pergerakan Islam.

Hadirnya Idrus Marham–bersama Luhut Panjaitan– di sekitar Jokowi, juga bisa menjadi penyeimbang pengaruh Wapres Jusuf Kalla di tubuh Golkar. Sebagai Sekjen yang punya pengalaman mendampingi dua orang Ketua Umum –Aburizal Bakrie dan Setya Novanto– Idrus juga memiliki jejaring yang cukup luas dan kuat di Golkar. Dia aktor penting yang diperlukan Jokowi.

Dua peran tersebut setidaknya yang diharapkan dari penempatan Idrus di kabinet. Yang tidak boleh dilupakan, posisinya sebagai Mensos dapat memainkan peran untuk menggelontorkan berbagai program Jokowi yang populis. (Hersubeno Arief/Nusataranews.co)

Previous
Next Post »
0 Komentar